700 Dosen CPNS – Sebanyak 700 dosen CPNS di Indonesia secara serentak memilih untuk mengundurkan diri. Angka yang tidak main-main ini bukan hanya sekadar data statistik, melainkan cerminan dari gejolak serius dalam dunia pendidikan tinggi. Bagaimana mungkin ratusan akademisi muda yang telah lolos seleksi ketat, melewati berbagai tahapan rekrutmen, dan siap mengabdikan diri sebagai pendidik negeri, justru mundur sebelum benar-benar memulai?
Fenomena ini membuat publik bertanya-tanya: ada apa sebenarnya yang terjadi di balik layar? Apakah ini soal gaji? Lingkungan kerja? Atau ada sesuatu yang lebih besar sedang disembunyikan?
Beban Administratif yang Tidak Masuk Akal
Salah satu alasan utama yang mencuat adalah beban administratif yang begitu menyesakkan. Banyak dari para dosen ini merasa bahwa waktu mereka tersedot habis untuk urusan birokrasi, bukan untuk mengajar atau meneliti. Formulir, laporan, akreditasi, pelatihan wajib—semuanya datang bertubi-tubi seolah-olah menjadi syarat utama untuk bertahan, bukan untuk berkembang.
Tidak sedikit yang mengeluhkan bahwa menjadi dosen CPNS saat ini lebih mirip menjadi operator data daripada intelektual situs slot depo 10k. Padahal, dosen seharusnya menjadi penggerak ilmu pengetahuan, bukan sekadar pengisi tabel dan pengumpul tanda tangan.
Status CPNS: Ikatan, Bukan Kemerdekaan
Ada anggapan bahwa status CPNS memberikan jaminan dan kestabilan. Namun realitanya, bagi banyak dosen muda, status ini justru menjadi jebakan. Terikat kontrak selama sekian tahun, harus mengikuti pelatihan berbulan-bulan yang kerap tidak relevan, dan terpaksa menunda studi lanjut karena keterbatasan izin dan dukungan instansi.
Mereka yang ingin melanjutkan pendidikan ke luar negeri, misalnya, sering kali terbentur dengan aturan yang kaku dan minimnya fleksibilitas. Ironis, mengingat pemerintah selalu menggembar-gemborkan pentingnya peningkatan kualitas SDM.
Apakah Pemerintah Tutup Mata?
Yang paling memprihatinkan, respon dari institusi dan pemerintah terkesan normatif. Tidak ada langkah konkret, tidak ada introspeksi mendalam. Padahal ini bukan hanya sekadar soal 700 orang. Ini adalah sinyal darurat bagi dunia pendidikan tinggi di Indonesia. Jika akademisi muda saja tidak merasa nyaman, bagaimana nasib generasi yang akan mereka didik?
Fenomena pengunduran diri massal ini seharusnya menjadi tamparan keras. Bukan hanya untuk Kementerian Pendidikan, tapi juga seluruh pemangku kepentingan di negeri ini. Jangan sampai kampus berubah menjadi penjara akademik yang membuat para dosen lebih ingin pergi daripada bertahan.
Pertanyaannya sekarang, siapa yang akan mengisi ruang kosong yang mereka tinggalkan? Dan lebih penting lagi—akankah masalah ini benar-benar diselesaikan, atau hanya akan jadi berita panas sesaat lalu dilupakan begitu saja?